🏏 Kasus Tanjung Priok Disidangkan Melalui Pengadilan Ham Ad Hoc Karena
PeristiwaTanjung Priok adalah peristiwa kerusuhan yang terjadi pada 12 September 1984 di Tanjung Priok, Jakarta, Indonesia yang mengakibatkan sejumlah korban tewas dan luka-luka serta sejumlah gedung rusak terbakar. Sekelompok massa melakukan defile sambil merusak sejumlah gedung dan akhirnya bentrok dengan aparat yang kemudian menembaki
Hukumonline Sejumlah korban dan keluarga korban tragedi Tanjung Priok 1984 mendesak agar pemerintah memenuhi rasa keadilan bagi korban. Pasalnya, hal itu tetap tak terpenuhi walau pengadilan HAM ad hoc sudah diselenggarakan. Karena majelis di tingkat banding dan kasasi membebaskan para pelaku.
Kasuspelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia salah satunya adalah kasus Tanjung Priuk yang diselesaikan secara represif oleh aparat keamanan. Upaya secara represif terhadap massa yang dilakukan oleh aparat dalam peristiwa Tanjung Priok merupakan kasus pelanggaran HAM yang berhasil disidangkan melaui pengadilan HAM Ad Hoc.
1 Pertama adalah mekanisme pengadilan HAM ad hoc untuk pelanggaran HAM masa lalu sebelum adanya undang-undang ini; 2. Kedua adalah pengadilan HAM yang sifatnya permanen terhadap kasus setelah terbentuknya UU No. 26 Tahun 2000; 3. Ketiga adalah dibukanya jalan mekanisme komisi kebenaran dan rekonsiliasi untuk penyelesaian pelanggaran HAM yang
Jikakasus Tanjung Priok ini bisa diselesaikan, maka kasus HAM lainnya pun akan terjangkau. Kasus Tanjung Priok berawal dari demo masyarakat di Jl Yos Sudarso, Jakarta Utara pada 1984.
Perbedaankedua dari Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc adalah dari sifat kedua pengadilan yang dibentuk tersebut. Memang keduanya merupakan Pengadilan yang dibentuk dan didasarkan pada UU No. 26 Tahun 2000 tentang peradilan HAM yang diberlakukan di Indonesia. Namun dari landasan hukum tersebut pula dapat dilihat sifat dari kedua
Represiterhadap massa yang dilakukan oleh aparat dalam peristiwa Tanjung Priok merupakan kasus pelanggaran HAM yang berhasil disidangkan melalui pengadilan HAM Ad Hoc. Kasus Tanjung Priok disidangkan melalui pengadilan HAM Ad Hoc karena? termasuk kejahatan konektivitas termasuk dalam tindak pidana militer termasuk dalam pelanggaran HAM berat belum diatur dalam undang-undang saat itu terjadi
3tuntutan untuk menggelar pengadilan ham ad hoc itu terjadi Islah antara. Jenderal Try Soetrisno dengan sebagian korban pelanggaran Ham Tanjung. Priok. Jelas Islah tersebut merupakan sebuah tindakan di luar proses hukum. Karena itu tidak bisa dijadikan dasar untuk menunda apalagi meniadakan. proses pengadilan Ham Ad Hoc Tanjung Priok.
. Kejahatan atau pelanggaran Hak Asasi Manusia atau yang biasa dikenal dengan pelanggaran HAM merupakan pelanggaran atau kejahatan terhadap kemanusiaan. Mengapa di kaitkan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan, karena setiap manusia yang lahir dan hidup dimanapun pada dasarnya memiliki hak yang sama satu sama lain. Oleh sebab itu, kejahatan maupun pelanggaran HAM di setiap negara memiliki landasan hukum yang kuat, dan juga pengadilan khusus untuk mengatasi maupun menyelesaikan permasalahan Indonesia sendiri juga memiliki pengadilan khusus yang berhubungan dengan pelanggaran HAM, yaitu Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc. Adanya Pengadilan HAM maupun Pengadilan HAM Ad Hoc juga merupakan salah satu upaya penyelesaian pelanggaran HAM, terutama yang berlaku di Indonesia. Apa perbedaan Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc di Indonesia? Mari simak ulasan lengkap berikut yang pertama dapat dilihat dari perbedaan pengertian dari Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc itu sendiri. Walaupun pada dasarnya, keduanya sama-sama merupakan pengadilan yang mengatasi kejahatan atau pun pelanggaran HAM yang terjadi di HAMPengadilan HAM merupakan pengadilan khusus untuk mengatasi atau memproses kejahatan maupun pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi, baik yang bersifat pelanggaran ringan maupun pelanggaran berat. Pengadilan HAM juga salah satu Pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan Peradilan HAM Ad HocPengadilan HAM Ad Hoc merupakan pengadilan yang dibentuk dan memiliki wewenang untuk memproses kejahatan atau pelanggaran HAM yang dilakukan seseorang atau kelompok yang bersifat pelanggaran berat saja dan juga merugikan. Pengadilan HAM Ad Hoc juga ditujukan untuk memelihara perdamaian dan juga memberikan perasaan aman dan juga adil bagi setiap orang atau pun kelompok yang kedua dari Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc adalah dari sifat kedua pengadilan yang dibentuk tersebut. Memang keduanya merupakan Pengadilan yang dibentuk dan didasarkan pada UU No. 26 Tahun 2000 tentang peradilan HAM yang diberlakukan di Indonesia. Namun dari landasan hukum tersebut pula dapat dilihat sifat dari kedua Pengadilan HAM yang berlaku di HAM bersifat tetap atau permanen untuk mengatasi pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi, baik yang bersifat ringan maupun berat. Selama landasan hukumnya masih berlaku dan tidak merubah kewenangan dari Peradilan HAM, maka kedudukannya akan tetap sama dan tetap di Indonesia. Berbeda dengan Pengadilan HAM Ad Hoc dimana memiliki sifat yang tidak tetap atau tidak permanen. Pengadilan HAM Ad Hoc akan dibentuk ketika ada pelanggaran atau kejahatan HAM yang bersifat berat dan merugikan saja, serta peristiwa-peristiwa tertentu saja. Artinya bahwa Pengadilan HAM Ad Hoc bersifat sementara hingga kasus atau peristiwa yang ditangani dianggap telah selesai atau Pelanggaran HAM yang DitanganiKejahatan atau jenis-jenis pelanggaran HAM sendiri sebenarnya dibagi menjadi dua macam, yaituOrdinary Crimes yaitu kejahatan umum seperti pembunuhan, perampasan kemerdekaan, penganiayaan, penyiksaan, perkosaan, dan lain Crimes yaitu kejahatan atau pelanggaran berat atau tidak umum, seperti kejahatan genocida, war crime, dan lain dari kedua jenis tersebut, pelanggaran atau kejahatan HAM yang ditangani oleh Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc pastinya berbeda. Secara umumnya, Pengadilan HAM akan menangani kejahatan atau pelanggaran HAM yang termasuk kedalam Ordinary Crimes saja, sedangkan Pengadilan HAM Ad Hoc akan menangani kejahatan atau pelanggaran yang termasuk kedalam Extraordinary atau pelanggaran HAM yang dapat diperiksa atau diputuskan oleh Pengadilan Hukum HAM Ad Hoc merupakan perkara pelanggaran HAM berat yang dilakukan sebelum keluarnya UU No. 26 Tahun 2000. Sebagai contoh seperti kasus pelanggaran HAM di Tanjung Priok maupun peristiwa Timur-Timur yang melepaskan diri dari Indonesia. Sedangkan Pengadilan HAM permanen memiliki wewenang untuk mengadili maupun memutuskan perkara umum maupun berat yang terjadi setelah adanya UU No. 26 Tahun 2000. Jadi segala kejahatan atau pelanggaran HAM yang terjadi setelah diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000 akan di adili melalui Pengadilan HAM di Indonesia, itu juga merupakan salah satu tujuan dibentuknya Pengadilan beberapa perbedaan dari Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc. Dimana jika di lihat dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Pengadilan yang digunakan untuk menangani kejahatan maupun pelanggaran HAM saat ini maupun setelah munculnya UU No. 26 Tahun 2000 adalah Pengadilan HAM yang bersifat permanen. Sedangkan untuk kejahatan atau pelanggaran HAM berat sebelum keluarnya UU No. 26 Tahun 2000 akan diproses oleh Pengadilan HAM Ad Hoc, dimana Pengadilan HAM Ad Hoc ini juga memiliki beberapa persyaratan untuk di bentuk. Beberapa syarat pembentukannya diantaranya adalahAdanya dugaan kejahatan atau pelanggaran HAM yang berat atas hasil penyelidikan yang telah dilakukan oleh Komnas HAM hasil dari penyelidikan yang dilakukan oleh Kejahatan Agung terhadap peristiwa yang sama rekomendasi dari DPR kepada pemerintah untuk dibentuk Pengadilan Hukum Ad Hoc, beserta dengan tempus dan locus delicti tertentu keputusan Presiden atau Keppres untuk di bentuk atau didirikannya Pengadilan HAM Ad beberapa penjelasan mengenai perbedaan Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc di Indonesia yang berlandaskan pada UU Tahun 2000, sebagai salah satu macam instrumen HAM. Semoga informasi di atas dapat bermanfaat.
› Riset›Merunut Penuntasan Kasus... Banyak kasus pelanggaran ham berat belum terselesaikan, bagaimana nasibnya saat ini? KOMPAS/HERU SRI KUMORO KUMMural sejumlah tokoh yang wafat karena memperjuangan hak-hak buruh, hak asasi manusia, dan hak warga negara pada zaman orde baru seperti Marsinah dan Munir menghiasi tembok di Bojongsari, Depok, Jawa Barat, Minggu 14/3/2021.Sebagian besar kasus pelanggaran hak asasi manusia berat di masa lalu belum memasuki proses penyidikan. Perkara yang telah disidangkan pun hampir membebaskan semua terdakwa. Tak terbantahkah upaya pengusutan dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat ini jalan di tempat, di jalur yudisial yang besar peristiwa yang ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat masih di babak awal proses penuntasan. Deretan panjang kejahatan terhadap kemanusian yang terjadi di Indonesia pun niscaya makin dilupakan masyarakat. Secara terperinci, terdapat 19 kasus dengan dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia. Peristiwa tersebut terbentang dari tahun 1965 hingga 2014. Merujuk laporan-laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komnas HAM, sebanyak 17 kasus telah rampung diselidiki dan ditetapkan sebagai peristiwa dengan pelanggaran HAM kasus-kasus tersebut, empat diantaranya telah disidangkan. Kasus Tanjung Priok 1984, Timor Timur 1999, dan Abepura 2000 telah diproses di persidangan hingga tingkat kasasi. Semua terdakwa pada kasus Tanjung Priok dan Abepura diputus bebas oleh Mahkamah Agung MA.Adapun pada kasus Timor Timur, hanya satu terdakwa yang dinyatakan bersalah. Pada 13 Maret 2006, MA memvonis Eurico Guterres dengan hukuman 10 tahun penjara. Mantan Wakil Panglima Pasukan Pejuang Prointegrasi Timor Timur ini diyakini melakukan pelanggaran HAM berat di Timor Paniai 2014 juga telah diproses di Pengadilan HAM di Makassar. Pada 8 Desember 2022, Pengadilan Negeri Kelas IA Khusus Makassar memvonis bebas terdakwa tunggal yang dituntut hukuman 10 tahun itu, berkas dari 13 kasus pelanggaran HAM berat lainnya masih bolak-balik antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung Kejagung. Sejumlah kasus telah berusia dua dekade sejak hasil penyelidikan diserahkan Komnas HAM kepada penyelidikan pertama kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II 1998-1999 telah diserahkan Komnas HAM ke Kejagung pada 29 April 2002. Adapun hasil penyelidikan kasus Kerusuhan Mei 1998 telah diserahkan pada 19 September 2003. Sementara kasus Wasior 2001-2002 dan Wamena 2003 telah diserahkan pada 3 September kasus-kasus yang sudah dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat, dua kasus sedang dalam proses penyelidikan untuk menggali apakah terdapat pelanggaran HAM berat di dalamnya. Keduanya adalah Peristiwa Bumi Flora 2001 dan pembunuhan Munir Said Thalib juga Melawan Lupa Duka Korban ReformasiJalan panjangJalan panjang penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu bukanlah pepesan kosong semata. Mayoritas kasus dengan pelanggaran HAM berat yang dituntaskan Komnas HAM masih belum ditindaklanjuti dengan proses setelah proses penyidikan masih banyak tahapan-tahapan yang harus dilalui hingga tersangka mendapatkan hukuman dan keluarga korban mendapatkan hak kompensasi, restitusi, dan hanya proses yang panjang, penuntasan kasus juga melibatkan banyak pemangku kepentingan untuk mendukung jalannya proses yudisial. Dengan silih bergantinya kepemimpinan, langkah mencapai titik akhir penuntasan sungguh sangat 7 Juni 2023 ini Komnas NAM genap berusia 30 tahun dan sepanjang berdirinya tersebut, komisi yang menangani pelanggaran hak asasi manusia ini telah menerima aduan sejak 1993 hingga 2023 dengan mandat UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Komnas HAM memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran HAM FADLURROHMANPeserta aksi membawa poster tuntutan saat aksi Kamisan ke-773 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis 11/5/2023. Dalam aksi Kamisan ke-773 para aktivis menyuarakan tentang 25 tahun kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia HAM pada Mei 1998. Sejumlah kasus pelanggaran HAM tersebut yakni Tragedi penembakan empat mahasiswa Universitas Trisakti hingga kerusuhan massa yang terjadi di berbagai daerah. Para peserta aksi menuntut pemerintah untuk mengusut tuntas Tragedi Trisakti dan Peristiwa 13-15 Mei 1998. Mereka meminta agar Presiden segera memerintahkan Jaksa Agung untuk membentuk tim penyidik ad hoc dan menindaklanjuti kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki Komnas HAM. Mereka juga meminta pemerintah untuk memenuhi hak-hak korban dan para keluarga korban pelanggaran HAM berat ini secara menyeluruh, salah satunya yakni hak atas kebenaran dan keadilan. Selanjutnya, Komnas HAM dapat membentuk tim ad hoc yang melibatkan unsur masyarakat untuk melakukan penyelidikan guna menindaklanjuti kasus dengan dugaan pelanggaran HAM berat. Penyelidikan peristiwa pelanggaran HAM berat dapat dilakukan terhadap peristiwa yang terjadi setelah maupun sebelum adanya undang-undang bukti permulaan yang cukup, Komnas HAM lalu menyampaikan hasil penyelidikan kepada penyidik, yakni Jaksa Agung. Dalam pelaksanaan tugasnya, Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan atau hasil penyidikan lengkap, Jaksa Agung melakukan penuntutan perkara. Pemeriksaan perkara dilakukan oleh majelis hakim pengadilan HAM yang terdiri dari hakim pada pengadilan HAM dan hakim ad hoc. Hakim ad hoc diangkat dan diberhentikan presiden atas usul ketua pelanggaran HAM yang terjadi sebelum diundangkannya UU Tahun 2000, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc. Pengadilan ini dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat DPR dengan Keputusan pelanggaran HAM berat dapat dimohonkan banding ke Pengadilan Tinggi dan dimohonkan kasasi ke Mahkamah Agung. Hakim ad hoc di MA diangkat oleh presiden atas usulan korban pelanggaran HAM berat atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi yang dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan HAM. Akan tetapi, melihat fakta persidangan sebelumnya di mana hampir seluruh terdakwa dibebaskan, hak-hak inipun tak diterima korban maupun keluarga juga Komitmen Capres Tuntaskan Pelanggaran HAM Masa LaluTugas mediaMerujuk hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada Mei 2023, kurang lebih separuh responden tidak menghiraukan peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu. Sebagian besar dari proporsi tersebut mengaku sudah lupa, sementara yang lainnya tidak mengetahui sama contoh pada kasus pelanggaran HAM berat dalam Peristiwa Kerusuhan Mei 1998. Sebanyak 34,2 persen responden mengaku lupa pada peristiwa ini dan 12,6 persen menyebut tidak mengetahui sama memori kolektif pada kejahatan kemanusiaan di masa lalu ini semakin memprihatinkan jika melihat jomplangnya pengetahuan yang dimiliki tiap contoh, 40,9 persen publik muda tidak tahu sama sekali adanya pelanggaran HAM berat pada Peristiwa Mei 1998. Kalangan ini diwakili oleh responden berusia 17-24 ARIYANTO NUGROHOSalah satu aktivis Kamisan bersama mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara menggelar Aksi Kamisan ke-772 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis 4/5/2023. Adapun pada kalangan yang lebih matang secara usia, proporsi yang tidak mengetahui sangatlah sedikit. Tercatat hanya 4,2 persen pada 24-39 tahun dan 7,5 persen pada 40-55 tahun. Responden usia 56 tahun ke atas tidak ada yang tidak mengetahui peristiwa Kerusuhan Mei tugas media massa untuk tidak lelah mengabarkan perkembangan kasus ini untuk menjaga ingatan lintas generasi. Lebih lagi, media massa menjadi sumber yang dirujuk oleh separuh publik untuk mengetahui sejarah pelanggaran HAM di tengah arena perlombaan untuk menjadi paling viral, bertekun dalam mengabarkan kondisi pengusutan HAM menjadi tugas mulia. Sinergi bersama masyarakat yang semakin berkesadaran, niscaya akan memberikan energi baik untuk melangkah di jalan panjang peradilan kembali peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu tidak lepas dari upaya memperkuat ingatan bangsa dan negara ini pada pekerjaan rumahnya untuk memberikan keadilan pada korban, keluarganya, dan sejarah. LITBANG KOMPASBaca juga Negara Akui Terjadinya Pelanggaran HAM Berat
Dalam kehidupan sehari-hari menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia atau HAM merupakan sesuatu yang wajib dilakukan setiap warga negara, termasuk warga negara Indonesia. Hal ini juga tidak terlepas dari dasar hidup manusia sebagai seorang makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri, sehingga menghormati, menghargai, maupun menerima perbedaan satu sama lain ada hal hal wajib. Terlebih lagi di Indonesia, dimana memiliki Pancasila sebagai pandangan hidup dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang harus selalu bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, dimana hubungan HAM dengan Pancasila juga erat kaitan sebagai salah satu dasar pelaksanaan di begitu dalam kenyataannya masih banyak sekali pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi, terutama di Indonesia sendiri. Pelanggaran Hak Asasi Manusia atau HAM tersebut ada yang bersifat ringan dan juga ada yang bersifat pelanggaran berat. Dimana pelanggaran HAM berat biasanya akan di selesaikan melalui Pengadilan HAM Ad Hoc. Dalam kesempatan kali ini akan dibahas lebih lanjut mengenai contoh kasus PengadIlan HAM Ad Hoc di HAM Ad HocSebelum masuk pada penjelasan mengenai contoh kasus yang di selesaikan melalui Pengadilan HAM Ad Hoc, akan sedikit dibahas juga mengenai apa yang dimaksud degan Pengadilan HAM Ad Hoc dan mengapa kasus pelanggaran HAM berat harus di masukkan dalam Pengadilan HAM Ad HAM Ad Hoc secara umum dapat diartikan sebagai suatu pengadilan yang dibentuk untuk memproses berbagai macam kasus pelanggaran HAM yang bersifat pelanggaran berat dengan locus delici dan juga tempus delicti yang memiliki sifat terbatas. Jadi Pengadilan HAM Ad Hoc tidak digunakan untuk memproses pelanggaran HAM secara umum tetapi hanya untuk pelanggaran HAM yang dinilai sebagai pelanggaran berat. Pengadilan HAM Ad Hoc sendiri merupakan suatu lembaga pengadilan yang memiliki kewenangan dalam memproses maupun menyelesaikan proses peradilan terhadap para pelanggar HAM berat, dimana Peradilan HAM Ad Hoc di Indonesia diberlakukan surut atau retroaktif sebelum diberlakukannya UU no. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan pelanggaran HAM berat diantaranya menyangkut tentang sifat perbuatannya, korban, dan juga dampak yang ditimbulkan terhadap sisi kemanusiaan. Sebagai contoh seperti kejahatan manusia yang dirumuskan atau crime against humanity, dimana kejahatan tersebut memang direncanakan dan sengaja dilakukan serangan secara sistematis dan meluas terhadap penduduk sipil. Jika Pengadilan HAM Ad Hoc seperti yang disampaikan sebelumnya memang bersifat retroaktif, maka setelah pembentukan Pengadilan HAM yang didasarkan pada pembentukan UU Tahun 2000, dimana sebagai salah satu instrumen HAM di Indonesia, bertugas mengatasi kasus pelanggaran HAM berat secara prospektif dan bukan secara retroaktif KasusSecara umum, salah satu tujuan dibentukannya Pengadilan HAM adalah untuk mengatasi pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi. Jika dilihat dari penjelasan diatas memang dapat disimpulkan bahwa Pengadilan HAM Ad Hoc yang bersifat retroaktif berfungsi untuk proses pengadilan terhadap pelanggaran HAM kasusnya dapat dilihat dari faktor penentu seperti sifat perbuatan, korban, dan juga dampaknya bagi sisi kemanusiaan. Oleh sebab itu, di Indonesia sendiri ada beberapa kasus yang dianggap merupakan kasus pelanggaran HAM berat dan diproses melalui Pengadilan HAM Ad Hoc. Beberapa contoh kasus Pengadilan HAM Ad Hoc di Indonesia diantaranya adalahKasus ABEPURAContoh kasus yang pertama adalah kasus ABEPURA, dimana kasus ini merupakan salah satu kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada tahun 2000. Kasus ini merupakan suatu kejadian dimana terjadi penyerangan massa di kantor Mapolsek Wilayah Abepura dan menewaskan beberapa anggota tersebut kemudian dibalas oleh pihak kepolisian yang melakukan pengejaran dan juga penahan terhadap beberapa oknum yang dianggap maupun diduga terlibat pada penyerangan massa di kantor Mapolsek Wilayah Abepura. Dan kasus ini sendiri kemudian berdampak pada adanya pelanggaran HAM berat karena penyerangan yang direncanakan dan juga dampak yang diberikan bagi sisi kemanusiaan. Dimana berdampak pada 2 mahasiswa yang meninggal dan juga puluhan warga yang kemudian mengalami luka Timor-TimurContoh kasus yang kedua adalah kasus yang terjadi pada tahun 1999 saat Timor-Timur mencoba untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi pada tahun 1999 terdapat gerakan politik Timor-Timur untuk memisahkan diri dari Indonesia, dimana terjadi kerusuhan dan juga menyebabkan banyak warga sipil yang meninggal terkait dengan gerakan politik tersebut. Kondisi tersebut juga dianggap sebagai salah satu pelanggaran HAM berat, dimana dampak yang ditimbulkan juga tidak baik bagi sisi kemanusiaan maupun memberikan ancaman pada stabilitas Tanjung PriokUntuk contoh kasus selanjutnya adalah kasus Tanjung Priok dimana dianggap sebagai pelanggaran HAM berat yang terjadi pada tahun 1984. Kasus Tanjung Priok dianggap sebagai pelanggaran HAM berat karena terjadi pembantaian warga sipil pada tahun 1984, dimana pembantaian yang dilakukan dengan alasan untuk pengamanan terhadap kekuasaan Orde Baru. Kasus ini juga merupakan salah satu tragedi kemanusiaan di Indonesia, karena ratusan warga sipil yang dibunuh pada masa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi IIContoh kasus yang terakhir dalam pembahasan kali ini adalah peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, yang pastinya tidak asing lagi dalam sejarah perkembangan bangsa Indonesia. Dimana dalam peristiwa tersebut dianggap telah terjadi pelanggaran HAM berat karena adanya penembakan terhadap sejumlah mahasiswa yang melakukan demonstrasi pada masa awal reformasi berlangsung di beberapa penjelasan mengenai HAM Ad Hoc serta dijelaskan juga beberapa contoh kasusnya yang bisa anda ketahui.
kasus tanjung priok disidangkan melalui pengadilan ham ad hoc karena